Usianya baru 3.5 tahun dengan kasus down syndrome (DS),
dengan ciri-ciri khusus secara fisik dan mental. Wajahnya datar, ada lipatan
tambahan di ujung mata, jari-jari tangannya gemuk dan pendek, lidahnya lebar, sering
menjulurkan lidah, ngiler, bicara tak jelas, tidak responsive. Secara mental,
dia memiliki kelambatan yang menonjol dibandingkan anak lain seusianya. Jika
Anda punya anak DS, harap diterima hal itu sebagai qadarullah, jangan
sekali-kali berharap bahwa anak Anda akan berkembang menjadi anak pinter,
apalagi pinter banget. Bahkan jangan berharap akan mampu bersanding dengan
siswa lain di bangku sekolah normal. Hal itu sulit dan mendekati mustahil
tercapai. Dia perlu dimasukkan ke sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan
khusus, yang biasanya juga tidak banyak membantunya secara pendidikan karakter.
Ini bukan karena apa-apa, tapi memang begitulah secara teori. Bahkan tidak
sedikit yang semakin lama anak semakin menurun kondisinya, dengan tambahan
gangguan penglihatan dan pendengaran.
Lalu siapakah orang tua yang tidak akan terpukul ketika
dia memiliki seorang anak yang sejak bayi pun sudah terdeteksi sebagai
penderita DS? Bagaimana kehidupannya nanti? Bagaimana hidupnya? Bagaimana masa
depannya? Bagaimana jika aku sudah meninggal? Siapa yang akan memelihara dan
mengurusnya? Banyak lintasan pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya.
Ada apa dengan DS?
DS terjadi pada anak sebagai kelainan genetic, karena
kelainan pada cromosom 21. Janin memiliki 23 pasang cromosom dari ayah ibunya,
terbagi secara rata, sehingga jumlah totalnya ada 46 cromosom. Anak DS
cromosomnya lebih satu, yakni sebanyak 47 buah karena mengalami kelainan
(kelebihan) pada cromosom 21. Kalau masing-masing berpadangan ada dua, pada
cromosom 21 ada tiga buah.
Kembai ke anak ini, usia 3.5 tahun. Kasus DS. Dengan
empat kali bekam, sudah ada perubahan walau belum siginifikan, yaitu lebih
konsentrasi, jika dipanggil lebih responsive, lebih banyak maunya.
Orang tuanya juga memasukkannya ke program terapi
bicara. Dan hebatnya, petugas tempat terapi bicara itu menyarankan si anak
untuk dibekam, sembari menyebutkan nama Assabil. Mengapa? Karena ada salah satu
anak DS juga, yang juga mengikuti program terapi bicara di tempat tersebut,
setelah dibekam secara rutin, kondisinya nyaris seperti anak normal dan bahkan
sudah kuliah dengan program normal sebagaimana mahasiswa lain yang normal.
"Maka atas informasi tersebut, saya datang ke sini
Ustadz, agar anak saya ini selanjutnya berkembang sebagaimana anak normal
lain," kata ayahnya.
"Amin, ya Rabb," jawab kami, "Cuma
memang Bapak harus telaten dan sabar."
"In shaa Allah Ustadz."
"Bapak tahu berapa lama terapi yang dilakukan anak
DS yang sekarang kuliah sebagaimana anak biasa tersebut?"
"Tidak," jawabnya.
"Empat tahun," kataku.
Dia sempat terpana dan sedikit kaget. Tapi tak lama
kemudian dia tampak dapat menguasai diri.
"Berapa lama jeda waktu kedatangannya?"
"Pada awal mula, seminggu sekali, lalu makin
jarang dua minggu sekali, lalu tiga minggu sekali, lalu sebulan sekali, hingga
tahun terakhir dia datang sesekali waktu saja."
"In shaa Allah saya akan telaten Ustadz, karena
masa depan anak saya jauh lebih penting daripada usaha dan biaya yang harus
saya keluarkan," jawabnya dengan mantap.
Ya Allah, ya Rabb, limpahkan kesembuhan kepada anak
ini, curahkan kesabaran kepada bapak ibunya, karena Engkaulah Dzat Maha
Penyembuh.